• Gua Maria Paroki Lodalem
  • Pelayanan Sakramen Ekaristi
  • Altar Paroki Lodalem
  • Perayaan Ekaristi

Rekreasi Pondok Kitab Suci

Asiknya Kebersamaan Di Paroki Lodalem Dalam acara Pondok Kitab Suci - Olahraga Pagi

Peta Lokasi Paroki Lodalem

 Jika anda Kesulitan Untuk Menemukan Paroki Lodalem, Maka Anda dapat Melihat peta di bawah ini. ada 2 arah yang kami sajikan yaitu arah dari blitar ke paroki lodalem dan arah dari malang ke paroki lodalem. untuk lebih detailnya kami menyiapkan peta beserta keterangan routenya. dengan demikian akan mempermudahkan pencarian paroki lodalem

Arah Dari Blitar Ke Paroki Lodalem

untuk memperjelas gambar silahkan klick Gambarnya




untuk memperjelas gambar silahkan klick Gambarnya



Dari Arah Malang Ke Paroki Lodalem  




untuk memperjelas gambar silahkan klick Gambarnya





untuk memperjelas gambar silahkan klick Gambarnya

Selanjutnya ikuti alamat ini
JL. TRISULA 57, DSN. LODALEM,
DS. ARJOWILANGUN,
KEC. KALIPARE,
MALANG SELATAN
0341-2993905

LODALEMKU TERUSLAH BERKEMBANG DAN MAJU

LODALEMKU TERUSLAH BERKEMBANG DAN MAJU!

Ketupat dicampur jamu, kepada semua umat paroki Lodalem selamat bertemu. Si kembar pergi ke Papua, apa kabar anda semua? Adonan pati ditutupi laken, hati ini terasa kangen. Ketupat dicampuri merica dan madu, selamat merayakan HUT Pancawindu. Semoga anda kalian sehat dan bahagia selalu, amin.

A. Kenangan indah itu

Ketika Rm. Pahala, O.Carm meminta saya untuk menulis apa saja, sebagai bahan untuk merefleksikan dan merayakan HUT 40 tahun Paroki Lodalem, saya langsung menyetujui. Permintaan ini suatu kehormatan pada diri saya sendiri, karena saya pernah selama 4 tahun lebih sekian bulan, boleh mendapat perutusan menjadi Pastor Paroki Hati Tersuci Maria. Terkenal di seantero Keuskupan Malang sebagai paroki Lodalem. Jarang orang mengenal dan menyebut Paroki Hati Tersuci Maria. Ya, Lodalem lebih familier mencirikan suatu daerah alam pradesan.

Saya mempunyai kepanjangan kata Lodalem = Luhur Orangnya dan Lemah Lembut. Ciri khas orang yang hidup di pedesaan dan dekat dengan alam memang seperti itu. Berbeda dengan orang yang hidup di perkotaan penuh kebisingan, kepenatan dan tentu saja persaingan yang ketat, asing dengan alam. Kaki telanjang menginjak tanah saja dapat dihitung dengan jari untuk sehari. Itulah wajah kehidupan kota dan tentu saja pada gilirannya membentuk karakter manusianya.

Saya mengalami masa-masa indah itu di Lodalem. Saya merasakan keluhuran, kelemahlembutan juga kesederhanaan itu dari umat Katolik maupun warga umumnya. Puji Tuhan. Suatu rahmat yang sungguh saya syukuri. Bagaimanapun pengalaman itu bagian sejarah hidup saya dan membentuk diri saya. Di sini saya akui banyak orang yang menjadi guru kebijaksanaan saya baik yang kecil, tua, muda, kaya, miskin dan masih banyak lagi.

Prinsip 3 B (Berdoa, Bekerja dan Belajar), saya alami sungguh berkembang di Lodalem. Saya banyak belajar berdoa dari banyak umat yang bertekun dan semangat. Di Stasi Maria Bunda Karmel Tumpakrejo, biasa si mbok – si mbok itu sambil membawa belanjaan atau dagangannya langsung ikut misa. Saya kagum akan semangat untuk berdoa, berekaristi seperti itu. Tentu pengalaman itu belum pernah saya jumpai di kota. Di kota sibuk sedikit dan payah sedikit sudah menjadi senjata untuk tidak mengikuti Ekaristi. Saya menilai semangat ngabekti, manembah dan berekaristi luar biasa. Teladan inilah yang boleh memancar dirasakan anak-anak muda dan saya sendiri merasakan dan menikmatinya. Matur nuwun nggih?

Tentang bekerja juga sangat hebat. Umat Lodalem para pekerja keras dan ulet. Ladang terkadang tidak seberapa luas tetapi menjadi pusaka dan sumber kehidupan untuk ditekuni. Berangkat pagi pulang siang bahkan sore dari ladang. Ada yang ngarit untuk hewan peliharaan. Ada yang buruh tani. Para pegawai yang paling banyak guru, itu pun tidak terlalu banyak. Saya sangat terinspirasi dan dapat belajar kerja keras lagi ulet dari mereka semua itu. Mereka tidak mudah menuntut-mengeluh. Mereka tabah dan sabar. Sabar terhadap diri sendiri = harapan. Sabar terhadap sesama = kasih. Sabar terhadap Tuhan = iman.

B. Tantangan-tantangan

Di sini saya ingin melihat tantangan-tantangan yang perlu diperhatikan sebagai umat dan pelaku pastoral untuk dapat mengembangkan umat. Saya berangkat mulai dari umat balita sampai dengan umat yang sudah sepuh.

Anak-anak usia dini saya amati cukup banyak entah itu di pusat paroki ataupun di wilayah, stasi-stasi. Pendampingan terhadap mereka di gereja pusat sudah cukup memadai kendati selalu perlu dikembangkan terus, baik metode pendampingan, SDM maupun alat-alat peraga sebagai sarana-prasaranannya. Hanya yang masih memprihatinkan adalah pendampingan anak-anak usia dini di stasi-stasi belum maksimal. Perlu dipikirkan dan diusahakan secara terencana para pendampingnya. Bagus bila para mudika sudah dapat ikut terlibat dalam pelayanan bagi anak-anak usia dini. Pendampingan iman usia dini perlu dilakukan karena mengandalkan pendampingan iman pada keluarga saja tentu tidak cukup.

Anak-anak di atas usia dini (BIUD= Bina Iman Usia Dini), terkadang sudah terpisah, mereka tidak mau lagi bergabung dengan BIUD. Mereka mulai menjadi kelompok kecil tersendiri dalam kelompok Putra/Putri Altar (Misdinar). Saya melihat mereka juga cukup banyak dan sangat potensial sekali, untuk pelayanan dan sasaran aksi panggilan. Seingat saya saat itu, banyak anak yang masuk seminari menengah. Tentu hal itu bukan suatu kebetulan tetapi dapat dilihat sebagai buah pastoral dan pendampingan pada mereka.

Remaka dan mudika tantangannya lebih berat lagi. Apalagi di tengah iming-iming kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Berat bila mereka memang tidak disiapkan secara mental memasuki suatu jaman edan yang terus maju dan mencengkeram. Celakanya lagi, mereka tidak kuat dalam komunitasnya. Apa yang terjadi, pergaulan begitu bebas dan tahu-tahu membawa mereka melangkah terlalu jauh. Kenakalan-kenalakan remaja di luar gereja bisa dengan mudah merembet pada generasi idaman ini. Apa akibatnya? Mereka ada yang harus menikah di usia dini, ditambah menikah di luar gereja lagi. Lebih parah lagi, bila hal itu tidak dikomunikasikan pada pihak gereja. Alhasil akan menjadi hilang dari persekutuan menjadi nyata. Tidak kalah berat lagi mereka yang menjadi TKI ke luar negeri. Mereka yang muda mentalitas dan perilaku berubah drastis. Yang sudah berkeluarga alih-alih menjadi TKI untuk kesejahteraan tetapi malah banyak yang menambah persoalan. Perselingkuhan dan keluarga yang tidak terurus menjadi marak. Mereka memang harus disadarkan membangun keluarga itu tidak identik dengan membangun ekonomi saja. Maka saya senang dengan mendengar usaha pendampingan pengembangan dan pemberdayaan ekonomi umat di daerahnya sendiri.

Umat berusia dewasa tua (sepuh) menjadi pemandangan yang sangat mencolok baik di pusat maupun di stasi-stasi. Artinya gereja dipenuhi mereka semua. Tidak usah dirisaukan. Toh mereka umat Allah yang telah membuktikan kesetiaan dalam imannya. Mereka telah banyak berjasa bagi gereja. Mereka terus akan berjasa, terutama dalam kesetiaan berbakti dan berserah pada Tuhan. Mereka teladan, dalam arti yang sesungguhnya. Kita wajib melaksanakan pendapingan pastoral terus-menerus. Semoga semua umat Paroki Lodalem semakin dewasa dalam iman dan kuat persekutuannya. Ingat, lebih terhormat mantan penjahat daripada mantan Katolik. Selamat dan Berkah Dalem!

Rm A Yudhi Wiyadi OCarm

SISI ‘DALEM’ DARI PAROKI LODALEM

SISI ‘DALEM’ DARI PAROKI LODALEM
Oleh Adrianus Pristiono, O.Carm

Saya masih ingat yang dikatakan ketua Stasi Pangganglele, bapak Suwadi, saat akan mengarak saya ke Gereja Paroki dengan mobil pick-up buntut-nya, dalam rangka akan merayakan misa syukur atas tahbisan imamat saya. Waktu itu saya sedang berganti jubah di kamar depan. Bapak Suwadi dan istrinya berada di ruang tamu bersama paman-paman saya. Saya mendengar bapak Suwadi mengatakan demikian, “Rumah ini, tak berbeda dari rumah-rumah lain. Tetapi, di dalamnya ternyata penuh berkat, karena telah melahirkan seorang imam.” Kini, kata-kata beliau itu menjadi sedemikian bermakna, waktu saya diminta oleh Romo Pahala untuk menuliskan sebuah artikel HUT Paroki Lodalem, pada saat menjelang tahun ke-17 usia tahbisan saya.

Saat tinggal di Pangganglele, aktivitas saya di Paroki Lodalem cukup banyak. Sebagai mudika, anggota Legio Maria, putra altar, pembawa doa-doa di lingkungan, dan membantu kakek untuk menarik uang kematian (pangruktiloyo). Masa Rm. Yohanes Baptista Kelik Mursodo (alm) menjadi pastor Paroki Lodalem, memang merupakan masa revitalitasasi semangat Rm.Lohuis (alm). Gereja menjadi tempat yang semarak untuk menghidupi aneka kegiatan rohani. Gairah umat Sidodadi yang rela berjalan kaki untuk mengikuti Misa Suci ke gereja paroki dapat dijadikan gambaran untuk melihat situasi hidup menggereja pada waktu itu, sekaligus cermin untuk mawas diri pada saat ini. Kendati mereka kekurangan air untuk mandi, tetapi ada motivasi yang mencuat dari kedalaman hati untuk menyemarakkan perayaan Liturgi. Perlu dicatat, dan saya yakin banyak umat masih ingat, seorang bocah kecil yang mampu menjadi solis pada saat perayaan-perayaan besar gerejani, dengan suaranya yang merdu. Dia memang pandai bernyanyi.

Misa dan pendalaman iman di stasi-stasi dan kring sangat hidup, karena Rm. Kelik rajin mengunjungi umat di situ. Kelihatannya hanya soal ‘kunjungan’. Namun, kehadiran imam sungguh membawa antusiasme yang tak terukur. Yang harus kita ingat, kunjungan merupakan tradisi injili (Luk 1, 39–45), sebagaimana diteladankan oleh Bunda Maria kepada Elisabeth. Kehadiran seorang imam in persona Christi (dalam pribadi Kristus) sangat berbuah bagi pembangkitan kembali semangat menggereja. Tentu, dalam zaman yang sangat sibuk dengan banyak perkara ini (bdk.10,41), kehadiran imam mesti ditata dalam jadwal dan agenda yang rapi. Semacam rutinitas yang membentuk kebiasaan. Pada saatnya, kebiasaan akan membentuk ‘kebiasaan tetap’ atau habitus. Jika sudah menjadi habitus, maka segala yang baik, semangat yang besar, kehendak yang kuat, dan antusiasme yang tinggi akan mengalir dari dalam dan menjadi suatu karakter umat. Dalam tataran ini, umat tak perlu lagi digerakkan, tetapi gerakan itu muncul sendiri dari dalam. Kalau sudah demikian, yang perlu ditakar hanya tenaga imamnya. Itulah, gambaran paroki yang dewasa, suatu komunitas umat Allah yang sungguh-sungguh hidup.

Kelompok-kelompok kategorial, khususnya Legio Maria memiliki banyak anggota di stasi Sidodadi dan Pangganglele. Terus terang, saya belajar kedisiplinan dari Legio Maria. Wadah seperti Legio Maria dibutuhkan sebagai lahan untuk menanam benih-benih iman kristiani dalam aneka kegiatan. Umat, khususnya muda-mudi juga bisa bersemangat hidup justru dengan aneka kegiatan bervariasi yang dicanangkan paroki. Saya masih ingat, saat Bapak Mesikah menjadi ketua mudika, selain konsolidasi ke dalam (misalnya, dalam kegiatan camping rohani di gunung Kawi), juga ekspansi ke luar. Di Pangganglele, pada waktu perayaan 17 Agustus, mudika menjadi motor kegiatan bersama di desa dalam aneka kegiatan. Tema yang diambil saat itu masih saya ingat: “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah”. Pada waktu itu, acara peringatan hari proklamasi tersebut juga dimeriahkan dengan tontonan wayang kulit semalam suntuk, yang dalangnya juga dari kalangan mudika, yaitu Ki Antonius Siswadi (alm). Mudika menjadi motor kegiatan desa semacam itu tak dapat dipisahkan dari pengaruh orang sekaliber bapak HYP.Eko Suparto atau lebih dikenal dengan bapak Punggono (alm) yang menjadi tokoh yang membanggakan bagi masyarakat sekitarnya, baik dari segi politik maupun keagamaan. Bapak Punggono-lah yang memprakarsai doa bersama di Balai Desa pada setiap kesempatan perayaan 17 Agustus.

Pastoral sekolah (SMPK Arjowilangun) sangat hidup. Bapak Misdianto yang didukung penuh oleh Romo Paroki menghidupkan koor sekolah, misa sekolah, lomba-lomba menjelang Natal, dan aneka keterlibatan murid-murid SMPK dalam Gereja Paroki, bahkan juga untuk ramai-ramai membersihkan gereja menjelang Natal. Romo Paroki rela menyisihkan waktu untuk menjadi guru agama Katolik dan bahasa Inggris di sekolah. Kekompakan para guru SMPK pun perlu mendapat apresiasi, karena berhasil menaburkan benih-benih ajaran Katolik di sekolah. Saat itu, SMPK menjadi sekolah favorit di wilayah kecamatan Kalipare.

Pertanyaannya: Apa yang hidup di balik semuanya itu? Dalam refleksi yang panjang, saya mencoba menemukan jawabannya. Dan, jawaban yang saya temukan adalah spirit yang disuntikkan oleh misionaris Belanda, khususnya Romo Lohuis. Spirit tersebut berupa totalitas pemberian diri Romo Lohuis untuk umat kesayangan yang dipercayakan kepadanya. Maka, sesudah wafat pun, tubuh-fana Romo Lohuis tetap ‘digandholi’ umat Paroki Lodalem untuk dimakamkan di samping gedung gereja Paroki Lodalem. Bagi umat Paroki Lodalem, Roh Romo Lohuis tetap menjadi gembala mereka. Inilah sisi ‘dalem’ kehidupan umat Paroki Lodalem. Setiap romo yang bertugas di Paroki Lodalem hendaknya menggunakan spirit tersebut untuk membangkitkan semangat hidup menggereja umat. Soal bentuk pastoralnya, setiap romo memiliki keunikan yang bervariasi.

Pada dasarnya, kehidupan religius umat Paroki Lodalem bagus. Namun, dengan mencermati kemajuan zaman yang menjangkau tempat-tempat tersembunyi di pedesaan, maka kegiatan pastoral Gereja perlu mempertimbangkan hal-hal berikut: Pertama, pengaruh kebutuhan ekonomi yang membuat banyak orang lari ke negeri tetangga sebagai TKI membawa dampak yang sangat besar. Pola pikir dan gaya hidup kebanyakan umat sudah berubah. Kehidupan menggereja tidak lagi dipandang sebagai suatu cara untuk mengisi sisi ‘dalem’ (baca: kehidupan batin) saja, tetapi juga dilihat dalam tataran untung rugi secara ekonomi. Jika menguntungkan, umat akan berduyun-duyun mengikuti kegiatan Gereja, tetapi jika tidak maka kegiatan Gereja dianggap hanya menghabiskan waktu dan tenaga. Kegiatan Gereja hanya dipandang sebagai ‘barang kuno’ yang mesti segera ditinggalkan.

Kedua, kondisi sebagai minoritas di tengah mayoritas penganut agama lain. Demikian gencar promosi agama, dengan didukung oleh dana dari luar negeri yang tak terhitung, dan dikendalikan oleh orang-orang militan yang terlatih, maka kehidupan iman umat berada dalam tantangan yang tidak ringan. Tak perlu menganggap satu kelompok pun sebagai musuh, tetapi hendaknya digunakan prinsip ini: Di dunia ini hanya ada satu musuh; dan musuh itu bernama diri sendiri. Maka, keberadaan umat sebagai minoritas di tengah-tengah mayoritas hendaknya dipandang sebagai kesempatan untuk survive (bertahan hidup) di dalam ganasnya gelombang pengaruh yang sangat besar. Kenyataan ini sekaligus menjadi sebuah ‘seleksi alami’ tingkat ketangguhan iman masing-masing umat di tengah aneka tantangan.

Ketiga, kemajuan alat komunikasi yang sudah menjangkau ke pelosok-pelosok desa. Alat-alat komunikasi, baik hand-phone, face book, twitter, maupun aneka fasilitas internet bukanlah malapetaka yang harus dihindari. Umat diajak untuk melihat sisi ‘dalem’ yang sangat positif, yakni sebagai sarana untuk membuka jaringan antar sesama umat beriman, fasilitas untuk mewartakan Injil, dan kesempatan merangkul sebanyak mungkin teman menjadi satu kawanan dan satu gembala. Alat-alat komunikasi tersebut sungguh menjadi berkat bagi Gereja, bukan sebaliknya.

Akhirnya, dengan kesungguhan hati, saya ucapkan PROFISIAT bagi seluruh umat Paroki Lodalem, yang merayakan HUT ke-40. Iman selalu merupakan harta yang sangat berharga. Iman menjadi pegangan dan pelita setiap sisi kehidupan kita. Mari kita pelihara, sirami, dan pupuk, agar tumbuh subur dan berbuah masak bagi kehidupan sehari-hari, dimana pun, kapan pun, dalam situasi-kondisi apa pun, dan pada zaman mana pun.



Malang, 28 Desember 2010,

pada Pesta Kanak-kanak Suci, Martir.

SHARING KELUARGA

SHARING KELUARGA
(Ibu C.M. Sriani-Stasi Sumberpucung)

Berkah dalem,

Tinggal dalam sebuah keluarga yang majemuk tidaklah mudah. Banyak suka dan duka yang harus kita pelajari, kita mengerti dan terkadang harus dibawa dalam doa sebab tidak semua hal mudah dimengerti seperti yang saya harapkan. Meskipun demikian sikap menjunjung rasa hormat atas pribadi dan keyakinan dengan sesama keluarga yang lain mesti tetap diperjuangkan. Rasanya, hidup rukun seperti yang kita harapkan dan kedamaian yang kita inginkan tidak akan pernah hadir dalam kehidupan keluarga jika tidak ada rasa hormat satu dengan yang lain. Itulah yang saya rasakan sebagai satu keluarga yang memiliki keanekaan dalam keyakinan iman. Sebab keluarga saya memiliki beberapa keyakinan yang tetap bertahan dalam kerukunan sampai saat ini, ada yang beragama Protestan, GKJW, Islam, Budha dan Katolik.

Perjalanan iman yang saya miliki rasanya biasa-biasa saja, tetapi apa yang saya yakini dan hidupi sampai sekarang ini adalah suatu berkat yang luar biasa. Pada awalnya, ketika masih SD saya hanya mengikuti kegiatan menggereja dari teman-teman dan saudara saya. Rasanya ada kegembiraan dalam kegiatan sekolah minggu tersebut. Kami bisa bernyanyi dan makan bersama-sama. Sayang, setelah kelas 4 SD saya tidak lagi pergi ke gereja bersama teman-teman karena banyaknya kegiatan sekolah. Setelah tamat SD, saya menlanjutkan pendidikan di SMPK St. Antonius Sumberpucung. Di sekolah ini, saya kembali mengikuti kegiatan agama Katolik. Awalnya, saya ikut pelajaran agama Katolik supaya bisa mengerjakan soal-soal agama, yang pada waktu itu dibimbing oleh Bpk. Misidianto, Ibu V.M. Mistini dan Ibu M.G. Suyati.

Rasanya, semua pelajaran agama yang saya terima hanya sebatas untuk menjawapi tugas sekolah dan persahabatan dengan teman-teman yang berbeda keyakinan dengan saya. Setelah lulus dari SMPK, saya melanjutkan pendidikan ke SPG IT Selorejo. Sebagai seorang Muslim, saya tetap menjalankan sholat lima waktu dengan baik. Ketika mulai masuk dalam dunia karir, yaitu sebagai tenaga sukarelawan SD di desa, saya mulai dikenalkan oleh teman-teman guru dengan seseorang. Dia adalah Markus Doren, seorang Flores yang beragama Katolik. Perkenalan dan persahabatan ini membuat saya mendalami iman Katolik. Dalam perjalanan waktu, saya dan Markus Doren tetap menjalin komunikasi yang baik...terus semakin membaik dan dekat...hingga sampai pada suatu hubungan yang lebih dalam dan serius untuk menjadi pasangan hidup. Meskipun lewat surat menyurat, hubungan kami terjalin dengan baik.

Saya mencintai dia apa adanya, ingin menjadi bagian dalam hidupnya termasuk dalam hal keyakinan yang dihidupinya sebagai seorang Katolik. Orangtua saya adalah orang yang bijaksana. Mereka memberikan pilihan bebas kepada anak-anaknya sejauh itu diyakini dan menjadi pilihan hidupnya. Beberapa kali orangtua menanyakan tentang pernikahan kami dan niat saya untuk mengikuti keyakinan calon suami saya itu. Mereka sangat mendukung...silahkan jalani pilihan hidup yang sudah kamu yakini....

Saya sangat bahagia dengan restu orangtua saya. Karena itu saya belajar banyak tentang keyakinan calon suami saya. Saya mencari guru agama yang dulu mengajar saya ketika sekolah di SMPK, yaitu Ibu Suyati. Saya diajari dan menjadi katekumen. Semuanya berjalan dengan indah berkat bimbingan Tuhan. Tanggal 28 Oktober 1988, dengan pilihan bebas dan bangga atas apa yang sudah mulai saya yakini, saya pegang dan kini saya hidupi....saya dibaptis menjadi seorang Katolik. Kemudian, pada tanggal 3 Nopember 1988, saya dengan Markus Doren menerima Sakramen Perkawinan. Dengan rasa syukur yang tak terkatakan,...kami sangat bahagia dan kini kami sudah dikaruniai dua anak, yaitu putra dan putri yang kembar. Mereka lahir pada tanggal 2 September 1990.

Saling menghargai sebagai pribadi yang unik telah memberikan kerukunan dalam kehidupan keluarga besar kami yang majemuk. Saling menghormati adanya keyakinan yang berbeda telah menghadirkan rasa damai.

Dalam perjalanan iman ini, Yesus memang luar biasa. Ia bekerja dengan cara yang kerap kali tidak kita sadari, tetapi Dia tetap menemani setiap langkah hidup kita. Dengan percaya dan berserah kepada-Nya, saya bisa mengalami hidup yang penuh berkat. Dalam cinta kasih dan persaudaraan, semua perbedaan menjadi indah...lebih indah dari yang kita bayangkan.

Terima kasih Tuhan atas segalanya. Amin.



Salam dan doa kami,

Keluarga Markus Doren/CM. Sriani

dan putra-putri

Tuhan Mahakasih, Selalu Melindungi Umat-Nya

Tuhan Mahakasih, Selalu Melindungi Umat-Nya

Kami datang di Arjowilangun (Lodalem) pada bulan April tahun 1966. Padahal, status saya masih sebagai penduduk Dinoyo Malang, Gang I. Apa yang membawa saya sampai di Arjowilangun? Ceritanya cukup panjang, tetapi ada semua itu tidak lepas dari panggilan untuk mendapatkan hidup yang lebih baik dan ada kisah hidup yang memprihatinkan saya, yaitu kisah hidup yang terlantar. Saya meninggalkan kota Malang, yang sebenarnya pada saat itu telah memberika pekerjaan kepada saya sebagai salah satu karyawan di kantor Sispendik Pajak di jalan Merdeka Utara Malang.

Setelah kurang lebih tinggal satu bulan di Arjowilangun, tiba-tiba ada rasa waswas yang menghampiri saya. Ada panggilan dari perangkat desa (kamituwa) kepada saya. Terlintas pikiran bahwa saya akan ditahan karena tinggal di sini tanpa melapor kepada perangkat desa. Ternyata dugaan saya keliru. Saya sebagai pendatang yang pada awalnya tidak melapor, malah mendapat tugas atau diberi tugas untuk menjadi penjaga keamanan (Hansip).

Meskipun bertugas sebagai hansip, saya tetap aktif menggereja. Ke gereja tanpa baptisan, itulah yang terjadi pada saat itu, tetapi saya sudah menerima pelajaran agama katolik di SMPK Kepanjen. Tepat pada tanggal 13 Nopember 1966, saya dibaptis menjadi seorang katolik oleh Rm. Lohuis, O.Carm.

Sebagai orang katolik pada saat itu, saya sedapat mungkin ambil bagian dalam berbagai kegiatan yang ada. Tidak hanya kegiatan gereja, partai pun saya ikuti. Salah satu partai yang saya masuki saat itu adalah Partai Katolik (Salib Keming). Salah satu bakat yang saya geluti juga adalah menggambar, yaitu menggambar Dewi Maria. Gambar Dewi Maria yang ssaya buat ini adalah suatu berkat tersendiri bagi saya. Gambar ini dibawa ke rumah bapak Andreas Kardji Sukamto, utara pasar Lodalem, yang sekarang saya tempati.

Setelah melihat gambar yang saya buat itu, Bpk. Andreas mencari tahu siapa yang melukis gambar tersebut. Gambar itu pun mempertemukan saya dengan beliau dan saya ditawari pekerjaan untuk membantu mengajar di SD Negeri Lodalem sebagai sukarelawan. Ini adalah awal perjuangan baru, sebab tanpa dasar pendidikan sebagai guru harus berdiri dan mengajar di depan anak-anak. Memang tenaga guru sangat kekurangan pada saat itu, yang diakibatkan oleh G 30 S PKI. Bermodal kemauan, kesungguhan dan mau belajar kembali, saya menyiapkan sedapat mungkin bahan pelajaran yang mau saya ajarkan. Akhirnya, saya pun menjadi tenaga pengajar di SD Negeri Lodalem, yang sekarang bernama SD Negeri Arjowilangun 03. Di sekolah ini saya berkarya dengan hati dan kesungguhan. Di sekolah ini saya diangkat menjadi pegawai negeri sipil, tepatnya tanggal 01 Juni 1967 sampai pensiun pada tanggal 12 September 2003. Gambar Dewi Maria benar membawa berkat tersendiri bagi saya.

Pada tahun 1968 terjadi peristiwa GTM (Gerekan Tutup Mulut) yang merupakan buntut peristiwa G 30 S PKI tahun 1965. Akibatnya banyak keresahan di kalangan masyarakat. Banyak oknum partai politik terlarang yang diamankan oleh yang berwajib (TNI) pada waktu itu. Dan timbul pula pertentangan SARA di mana-mana. Tidak ketinggalan di Desa Arjowilangun. Saat itu Kepala Sekolah SMP Katolik dijabat oleh Bpk. Mulyono (Putra daerah Tlogosari Donomulyo). Bapak Mulyono sebagai tokoh umat Katolik satu-satunya waktu itu. Terjadilah debat sengit antara umat beragama, yaitu antara umat Islam dan umat Katolik yang didukung oleh umat Hindu. Umat Islam dipimpin oleh Haji Sunan (tokoh tua) dan Dulkowi (tokoh muda). Mereka dari Desa Sukowilangun Kalipare. Debat terjadi di Dukuh Pangganglele. Umat katolik diwakili Bapak Mulyono dan dibantu Bapak Gino Ut. serta Bapak Fr. Markawi yang menjabat sebagai Komandan Kompi Hansip. Sedang saya sebagai mata-mata (intel) mengawasi lawan. Inti persolannya adalah ‘Ajaran tentang Tri Tunggal Yang Mahakudus, Bapa Putra dan Roh Kudus’. Menurut mereka hal itu tidak benar. Tuhan punya anak, punya Ibu, berarti umat Katolik menyembah banyak Tuhan. Tetapi dengan kasih-Nya kami percaya, Tuhan selalu melindungi dan membimbing kami. Apa yang ingin mereka ketahui dapat diwartakan dengan baik dan benar. Sehingga buat pewartaan yang baik dan benar, buah kesaksian yang baik dan benar memberikan pemahaman yang melahirkan kerukunan dan sikap saling menghargai. Semua terjadi dan terlaksana sesuai dengan rencana Tuhan. Umat katolik di Lodalem tetap dalam bimbingan-Nya dan hidup dalam kerukunan dengan sesama.



Penulis,

Aegidius Karmudji







1. Nama : Aegidius Karmudji

2. Tempat tgl. Lahir : Malang, 12 September 1947

3. Dibaptis kapan : 13 Nopember 1966

4. Oleh siapa : Rm. GJA Lohuis O. Carm

5. Bagaimana proses tertarik jadi Katolik : Saya dulu mudrid SMPK Kepanjen, saya mendengar dan membaca Injil Matheus 22:39

6. Belajar berapa lama : saya ikut pelajaran agama sejak SMP kelas 1, untuk persiapan baptis hanya beberapa kali

7. Berapa temanya : kurang lebih 10 orang

8. Peristiwa apa yang berkesan : a. Tuhan Maha Pengasih (PNS)

b. Tuhan melindungi dan membimbing umatnya

c. Saya jadi guru karena Bunda Maria

d.Terjadi debat Tri Tunggal Mahakudus di Desa Arjowilangun (gedung kesenian) diakhiri dengan kedamaian

9. Kenapa bertahan jadi katolik : kami lebih mudah menerima Sabda Tuhan lewat ajaran Katolik

10. Pesan apa untuk generasi muda sekarang : kami mengharapkan agar generasi muda siap melanjutkan generasi tua dalam mengembangkan Gereja.


Tuhan selalu Mendampingi

Sejak bayi saya sudah menjadi seorang Katolik. Dari belum mengenal hingga terlibat dalam karya pelayananNya di Gereja dan sekolah tempat saya berkarya. Masih lekat dalam ingatan kerinduan akan berkumpul bersama dan bisa merayakan ekaristi. Katolik seperti tidak ada, tetapi ada. Kami pada saat itu belum memiliki kapel, sehingga sepertinya tidak ada umat katolik, tetapi kami tetap mengadakan perayaan iman di ruangan kelas sekolah dan di rumah-rumah umat. Suatu pengalaman iman yang sederhana tetapi menyentuh dan menyejukkan.

Jika dalam situasi yang demikian masih ada kerinduan dan kesediaan umat untuk berkumpul, saya yakin, pada masa sekarang ini pastilah akan jauh lebih guyub. Kapel sudah ada dan perkembangan zaman memungkinkan jarak yang jauh mudah terjangkau. Kalau dalam situasi yang serba sederhana dan terbatas Tuhan sangat terjangkau dan dirindukan, apalagi dalam zaman dan situasi dimana semua sudah lebih mudah, umat pasti akan lebih mudah bertemu dengan Tuhan. Itulah harapan saya. Tuhan kita ada sejauh doa, sejauh kerinduan, sejauh keyakinan dan sejauh kemauan kita untuk selalu mengandalkanNya.

Sejak kecil saya sudah menjadi katolik. Bahkan dalam kondisi sakit sekarang ini pun saya masih seorang katolik. Tidak mungkin rasanya saya ingkari iman saya yang sudah saya pegang selama sekian tahun. Tuhan tidak pernah mengecewakan saya. Sayalah yang lebih sering mengecewakan Dia. Meskipun dalam kondisi seperti sekarang ini, saya masih berjuang untuk menyediakan waktu untuk berkumpul bersama umat di kapel. Iman tanpa bergabung dengan umat yang seiman rasanya seperti ada yang kurang. Paguyuban, kebersamaan dan dukungan satu dengan yang lain rasanya tidak boleh digantikan oleh kesibukan lainnya. Jika saya lemah, saudara seimanlah yang menguatkan saya. Jika saya tidak mampu lagi, Tuhanlah yang memampukan saya.

Pada saat perayaan syukur paroki yang sudah berusia 40 tahun ini, pantaslah kita bangga. Bangga sebagai katolik, bangga dengan para gembala, bangga dengan umat yang tetap setia dalam segala kesulitan dan godaan, bangga dengan umat yang baru bergabung, bangga dengan kaum muda yang optimis dan setia dan bangga dengan Yesus. Yesus tidak pernah mengecewakan, maka jangan kita kecewakan Dia. Mari kita sediakan hati, waktu dan diri untuk Dia, maka akan memberikan hidup yang berkelimpahan. Berkah Dalem.



Curiculum Vitae

Nama : Nicolaus Suprantyo

Tempat, tgl lahir : Blitar, 6 Desember 1937

Tempat tinggal : Ngebruk, Sumberpucung-Malang

Pendidikan : SGAK (Sekolah Guru Atas Katolik) Malang, D1

Profesi : Mantan guru SMPK St. Antonius Sumberpucung, sebagai guru negeri yang diperbantukan, sejak tahun 1960-pensiun awal tahun 1998.

Asal usul dan kembalinya ciptaan Tuhan

Asal usul dan kembalinya ciptaan Tuhan
(Sangkan Paran Ning Dumadi)
Bpk. Melqior Gino Ut


Sebagai seorang guru tamatan SGB pada waktu itu, saya mengajar anak-anak yang ada di salah satu sekolah Yayasan Karmel di Tambak Rejo, Donomulya. Sepertinya sudah rencana Tuhan, saya tidak mengabdi sepenuhnya di daerah ini. Hal ini berawal ketika SDK Sidodadi meminjam saya (istilah saat itu) untuk mengajar di tempat ini.

Saya merasa lebih senang ketika pertama kali mengajar di Sidodadi. Meskipun kami mengajar di rumah yang dipinjam menjadi sekolah saat itu, saya merasa sangat bergairah dan lebih dibutuhkan di tempat ini. Saya merasa semua pendidikan atau pengajaran mengajak manusia untuk lebih mengenal siapa dirinya, tujuan hidupnya di dunia ini dan tujuan akhir setelah beralih dari dunia ini. Karena itu, saya selalu menekankan pentingnya ilmu ketuhanan untuk melengkapi ilmu-ilmu lainnya.

Pada malam, satu kali seminggu, saya selalu memberikan pengajaran ilmu ketuhanan kepada para murid yang mau saya didik. Dan bentuknya adalah perkelompok sesuai dengan dengan kelompoknya. Luar biasanya, ketika anak-anak ini saya ajari di dalam rumah, para orangtua banyak yang berkumpul di depan rumah untuk mendengarkan. Ilmu yang saya ajarkan inilah yang oleh masyarakat setempat dinamakan dengan ‘Sangkan Paran ning Dumadi’.

Saya merasa punya kekuatan baru melihat rasa ingin tahu masyaraktat pada saat itu. saya semakin diteguhkan bahwa banyak orang di tempat ini mengalami kehausan akan kebenaran Tuhan, kebenaran ciptaan dan arah tujuan kehidupan manusia di dunia ini.

Saya mengajar dan memberikan ilmu ketuhanan kepada siapa saja dengan menceritakan kisah-kisah yang ada dalam Perjanjian Lama. Bagaimana para Nabi dipanggil Tuhan dan dipakai untuk menjadi alat-Nya. Para Nabi dipilih, diberi keberanian untuk memberikan kesaksian hidup akan Allah yang benar tanpa pamrih atau imbalan, tetapi Tuhan memberi ganjaran abadi di surga. Mereka kadang-kadang ditolak, tetapi tidak menyerah dan selalu mencari cara bagaimana agar semakin banyak orang yang mengenal Tuhan

Saya selalu mencari setiap umat katolik yang ada di kecamatan Kalipare ini. Saya memasuki semua kegiatan organisasi yang ada pada saat itu. Bergaul dengan semua golongan dan agama yang ada. Bahkan, terkadang saya juga ikut minum dengan masyarakat yang biasa minum (tayup). Semua itu saya lakukan agar lebih dekat dan lebih bisa masuk kepada semua orang dan golongan.

Yesus pun berbuat hal yang sama. Ia mengajar dengan berbuat, tidak hanya bersabda tetapi langsung masuk dalam kehidupan budaya di mana Dia berkarya. Ini dilakukanNya untuk bersatu dengan manusia dan akhirnya bisa membawa manusia bersatu dengan BapaNya.

Setelah mengalami 40 tahun sebagai warga paroki Maria Annunciata, bagaimana cara kita agar bisa mengalami kesatuan dengan Allah (manunggaling kawula lan gusti)? Tentulah harus menyediakan waktu untuk menghadiri perayaan ekaristi. Tidak ada pilihan lain. Kesatuan manusia paling nyata dengan Allah adalah dalam perayaan ekaristi, ketika kita menyambut Tubuh PuteraNya. Inilah cara kita untuk menunjukkan besarnya rasa cinta dan kerinduan kita kepada Allah, selain perlunya kesaksian hidup kita yang nyata.