SISI ‘DALEM’ DARI PAROKI LODALEM
Posted on 12:54 AM by paroki_lodalem
SISI ‘DALEM’ DARI PAROKI LODALEM
Oleh Adrianus Pristiono, O.Carm
Saya masih ingat yang dikatakan ketua Stasi Pangganglele, bapak Suwadi, saat akan mengarak saya ke Gereja Paroki dengan mobil pick-up buntut-nya, dalam rangka akan merayakan misa syukur atas tahbisan imamat saya. Waktu itu saya sedang berganti jubah di kamar depan. Bapak Suwadi dan istrinya berada di ruang tamu bersama paman-paman saya. Saya mendengar bapak Suwadi mengatakan demikian, “Rumah ini, tak berbeda dari rumah-rumah lain. Tetapi, di dalamnya ternyata penuh berkat, karena telah melahirkan seorang imam.” Kini, kata-kata beliau itu menjadi sedemikian bermakna, waktu saya diminta oleh Romo Pahala untuk menuliskan sebuah artikel HUT Paroki Lodalem, pada saat menjelang tahun ke-17 usia tahbisan saya.
Saat tinggal di Pangganglele, aktivitas saya di Paroki Lodalem cukup banyak. Sebagai mudika, anggota Legio Maria, putra altar, pembawa doa-doa di lingkungan, dan membantu kakek untuk menarik uang kematian (pangruktiloyo). Masa Rm. Yohanes Baptista Kelik Mursodo (alm) menjadi pastor Paroki Lodalem, memang merupakan masa revitalitasasi semangat Rm.Lohuis (alm). Gereja menjadi tempat yang semarak untuk menghidupi aneka kegiatan rohani. Gairah umat Sidodadi yang rela berjalan kaki untuk mengikuti Misa Suci ke gereja paroki dapat dijadikan gambaran untuk melihat situasi hidup menggereja pada waktu itu, sekaligus cermin untuk mawas diri pada saat ini. Kendati mereka kekurangan air untuk mandi, tetapi ada motivasi yang mencuat dari kedalaman hati untuk menyemarakkan perayaan Liturgi. Perlu dicatat, dan saya yakin banyak umat masih ingat, seorang bocah kecil yang mampu menjadi solis pada saat perayaan-perayaan besar gerejani, dengan suaranya yang merdu. Dia memang pandai bernyanyi.
Misa dan pendalaman iman di stasi-stasi dan kring sangat hidup, karena Rm. Kelik rajin mengunjungi umat di situ. Kelihatannya hanya soal ‘kunjungan’. Namun, kehadiran imam sungguh membawa antusiasme yang tak terukur. Yang harus kita ingat, kunjungan merupakan tradisi injili (Luk 1, 39–45), sebagaimana diteladankan oleh Bunda Maria kepada Elisabeth. Kehadiran seorang imam in persona Christi (dalam pribadi Kristus) sangat berbuah bagi pembangkitan kembali semangat menggereja. Tentu, dalam zaman yang sangat sibuk dengan banyak perkara ini (bdk.10,41), kehadiran imam mesti ditata dalam jadwal dan agenda yang rapi. Semacam rutinitas yang membentuk kebiasaan. Pada saatnya, kebiasaan akan membentuk ‘kebiasaan tetap’ atau habitus. Jika sudah menjadi habitus, maka segala yang baik, semangat yang besar, kehendak yang kuat, dan antusiasme yang tinggi akan mengalir dari dalam dan menjadi suatu karakter umat. Dalam tataran ini, umat tak perlu lagi digerakkan, tetapi gerakan itu muncul sendiri dari dalam. Kalau sudah demikian, yang perlu ditakar hanya tenaga imamnya. Itulah, gambaran paroki yang dewasa, suatu komunitas umat Allah yang sungguh-sungguh hidup.
Kelompok-kelompok kategorial, khususnya Legio Maria memiliki banyak anggota di stasi Sidodadi dan Pangganglele. Terus terang, saya belajar kedisiplinan dari Legio Maria. Wadah seperti Legio Maria dibutuhkan sebagai lahan untuk menanam benih-benih iman kristiani dalam aneka kegiatan. Umat, khususnya muda-mudi juga bisa bersemangat hidup justru dengan aneka kegiatan bervariasi yang dicanangkan paroki. Saya masih ingat, saat Bapak Mesikah menjadi ketua mudika, selain konsolidasi ke dalam (misalnya, dalam kegiatan camping rohani di gunung Kawi), juga ekspansi ke luar. Di Pangganglele, pada waktu perayaan 17 Agustus, mudika menjadi motor kegiatan bersama di desa dalam aneka kegiatan. Tema yang diambil saat itu masih saya ingat: “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah”. Pada waktu itu, acara peringatan hari proklamasi tersebut juga dimeriahkan dengan tontonan wayang kulit semalam suntuk, yang dalangnya juga dari kalangan mudika, yaitu Ki Antonius Siswadi (alm). Mudika menjadi motor kegiatan desa semacam itu tak dapat dipisahkan dari pengaruh orang sekaliber bapak HYP.Eko Suparto atau lebih dikenal dengan bapak Punggono (alm) yang menjadi tokoh yang membanggakan bagi masyarakat sekitarnya, baik dari segi politik maupun keagamaan. Bapak Punggono-lah yang memprakarsai doa bersama di Balai Desa pada setiap kesempatan perayaan 17 Agustus.
Pastoral sekolah (SMPK Arjowilangun) sangat hidup. Bapak Misdianto yang didukung penuh oleh Romo Paroki menghidupkan koor sekolah, misa sekolah, lomba-lomba menjelang Natal, dan aneka keterlibatan murid-murid SMPK dalam Gereja Paroki, bahkan juga untuk ramai-ramai membersihkan gereja menjelang Natal. Romo Paroki rela menyisihkan waktu untuk menjadi guru agama Katolik dan bahasa Inggris di sekolah. Kekompakan para guru SMPK pun perlu mendapat apresiasi, karena berhasil menaburkan benih-benih ajaran Katolik di sekolah. Saat itu, SMPK menjadi sekolah favorit di wilayah kecamatan Kalipare.
Pertanyaannya: Apa yang hidup di balik semuanya itu? Dalam refleksi yang panjang, saya mencoba menemukan jawabannya. Dan, jawaban yang saya temukan adalah spirit yang disuntikkan oleh misionaris Belanda, khususnya Romo Lohuis. Spirit tersebut berupa totalitas pemberian diri Romo Lohuis untuk umat kesayangan yang dipercayakan kepadanya. Maka, sesudah wafat pun, tubuh-fana Romo Lohuis tetap ‘digandholi’ umat Paroki Lodalem untuk dimakamkan di samping gedung gereja Paroki Lodalem. Bagi umat Paroki Lodalem, Roh Romo Lohuis tetap menjadi gembala mereka. Inilah sisi ‘dalem’ kehidupan umat Paroki Lodalem. Setiap romo yang bertugas di Paroki Lodalem hendaknya menggunakan spirit tersebut untuk membangkitkan semangat hidup menggereja umat. Soal bentuk pastoralnya, setiap romo memiliki keunikan yang bervariasi.
Pada dasarnya, kehidupan religius umat Paroki Lodalem bagus. Namun, dengan mencermati kemajuan zaman yang menjangkau tempat-tempat tersembunyi di pedesaan, maka kegiatan pastoral Gereja perlu mempertimbangkan hal-hal berikut: Pertama, pengaruh kebutuhan ekonomi yang membuat banyak orang lari ke negeri tetangga sebagai TKI membawa dampak yang sangat besar. Pola pikir dan gaya hidup kebanyakan umat sudah berubah. Kehidupan menggereja tidak lagi dipandang sebagai suatu cara untuk mengisi sisi ‘dalem’ (baca: kehidupan batin) saja, tetapi juga dilihat dalam tataran untung rugi secara ekonomi. Jika menguntungkan, umat akan berduyun-duyun mengikuti kegiatan Gereja, tetapi jika tidak maka kegiatan Gereja dianggap hanya menghabiskan waktu dan tenaga. Kegiatan Gereja hanya dipandang sebagai ‘barang kuno’ yang mesti segera ditinggalkan.
Kedua, kondisi sebagai minoritas di tengah mayoritas penganut agama lain. Demikian gencar promosi agama, dengan didukung oleh dana dari luar negeri yang tak terhitung, dan dikendalikan oleh orang-orang militan yang terlatih, maka kehidupan iman umat berada dalam tantangan yang tidak ringan. Tak perlu menganggap satu kelompok pun sebagai musuh, tetapi hendaknya digunakan prinsip ini: Di dunia ini hanya ada satu musuh; dan musuh itu bernama diri sendiri. Maka, keberadaan umat sebagai minoritas di tengah-tengah mayoritas hendaknya dipandang sebagai kesempatan untuk survive (bertahan hidup) di dalam ganasnya gelombang pengaruh yang sangat besar. Kenyataan ini sekaligus menjadi sebuah ‘seleksi alami’ tingkat ketangguhan iman masing-masing umat di tengah aneka tantangan.
Ketiga, kemajuan alat komunikasi yang sudah menjangkau ke pelosok-pelosok desa. Alat-alat komunikasi, baik hand-phone, face book, twitter, maupun aneka fasilitas internet bukanlah malapetaka yang harus dihindari. Umat diajak untuk melihat sisi ‘dalem’ yang sangat positif, yakni sebagai sarana untuk membuka jaringan antar sesama umat beriman, fasilitas untuk mewartakan Injil, dan kesempatan merangkul sebanyak mungkin teman menjadi satu kawanan dan satu gembala. Alat-alat komunikasi tersebut sungguh menjadi berkat bagi Gereja, bukan sebaliknya.
Akhirnya, dengan kesungguhan hati, saya ucapkan PROFISIAT bagi seluruh umat Paroki Lodalem, yang merayakan HUT ke-40. Iman selalu merupakan harta yang sangat berharga. Iman menjadi pegangan dan pelita setiap sisi kehidupan kita. Mari kita pelihara, sirami, dan pupuk, agar tumbuh subur dan berbuah masak bagi kehidupan sehari-hari, dimana pun, kapan pun, dalam situasi-kondisi apa pun, dan pada zaman mana pun.
Malang, 28 Desember 2010,
pada Pesta Kanak-kanak Suci, Martir.
Oleh Adrianus Pristiono, O.Carm
Saya masih ingat yang dikatakan ketua Stasi Pangganglele, bapak Suwadi, saat akan mengarak saya ke Gereja Paroki dengan mobil pick-up buntut-nya, dalam rangka akan merayakan misa syukur atas tahbisan imamat saya. Waktu itu saya sedang berganti jubah di kamar depan. Bapak Suwadi dan istrinya berada di ruang tamu bersama paman-paman saya. Saya mendengar bapak Suwadi mengatakan demikian, “Rumah ini, tak berbeda dari rumah-rumah lain. Tetapi, di dalamnya ternyata penuh berkat, karena telah melahirkan seorang imam.” Kini, kata-kata beliau itu menjadi sedemikian bermakna, waktu saya diminta oleh Romo Pahala untuk menuliskan sebuah artikel HUT Paroki Lodalem, pada saat menjelang tahun ke-17 usia tahbisan saya.
Saat tinggal di Pangganglele, aktivitas saya di Paroki Lodalem cukup banyak. Sebagai mudika, anggota Legio Maria, putra altar, pembawa doa-doa di lingkungan, dan membantu kakek untuk menarik uang kematian (pangruktiloyo). Masa Rm. Yohanes Baptista Kelik Mursodo (alm) menjadi pastor Paroki Lodalem, memang merupakan masa revitalitasasi semangat Rm.Lohuis (alm). Gereja menjadi tempat yang semarak untuk menghidupi aneka kegiatan rohani. Gairah umat Sidodadi yang rela berjalan kaki untuk mengikuti Misa Suci ke gereja paroki dapat dijadikan gambaran untuk melihat situasi hidup menggereja pada waktu itu, sekaligus cermin untuk mawas diri pada saat ini. Kendati mereka kekurangan air untuk mandi, tetapi ada motivasi yang mencuat dari kedalaman hati untuk menyemarakkan perayaan Liturgi. Perlu dicatat, dan saya yakin banyak umat masih ingat, seorang bocah kecil yang mampu menjadi solis pada saat perayaan-perayaan besar gerejani, dengan suaranya yang merdu. Dia memang pandai bernyanyi.
Misa dan pendalaman iman di stasi-stasi dan kring sangat hidup, karena Rm. Kelik rajin mengunjungi umat di situ. Kelihatannya hanya soal ‘kunjungan’. Namun, kehadiran imam sungguh membawa antusiasme yang tak terukur. Yang harus kita ingat, kunjungan merupakan tradisi injili (Luk 1, 39–45), sebagaimana diteladankan oleh Bunda Maria kepada Elisabeth. Kehadiran seorang imam in persona Christi (dalam pribadi Kristus) sangat berbuah bagi pembangkitan kembali semangat menggereja. Tentu, dalam zaman yang sangat sibuk dengan banyak perkara ini (bdk.10,41), kehadiran imam mesti ditata dalam jadwal dan agenda yang rapi. Semacam rutinitas yang membentuk kebiasaan. Pada saatnya, kebiasaan akan membentuk ‘kebiasaan tetap’ atau habitus. Jika sudah menjadi habitus, maka segala yang baik, semangat yang besar, kehendak yang kuat, dan antusiasme yang tinggi akan mengalir dari dalam dan menjadi suatu karakter umat. Dalam tataran ini, umat tak perlu lagi digerakkan, tetapi gerakan itu muncul sendiri dari dalam. Kalau sudah demikian, yang perlu ditakar hanya tenaga imamnya. Itulah, gambaran paroki yang dewasa, suatu komunitas umat Allah yang sungguh-sungguh hidup.
Kelompok-kelompok kategorial, khususnya Legio Maria memiliki banyak anggota di stasi Sidodadi dan Pangganglele. Terus terang, saya belajar kedisiplinan dari Legio Maria. Wadah seperti Legio Maria dibutuhkan sebagai lahan untuk menanam benih-benih iman kristiani dalam aneka kegiatan. Umat, khususnya muda-mudi juga bisa bersemangat hidup justru dengan aneka kegiatan bervariasi yang dicanangkan paroki. Saya masih ingat, saat Bapak Mesikah menjadi ketua mudika, selain konsolidasi ke dalam (misalnya, dalam kegiatan camping rohani di gunung Kawi), juga ekspansi ke luar. Di Pangganglele, pada waktu perayaan 17 Agustus, mudika menjadi motor kegiatan bersama di desa dalam aneka kegiatan. Tema yang diambil saat itu masih saya ingat: “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah”. Pada waktu itu, acara peringatan hari proklamasi tersebut juga dimeriahkan dengan tontonan wayang kulit semalam suntuk, yang dalangnya juga dari kalangan mudika, yaitu Ki Antonius Siswadi (alm). Mudika menjadi motor kegiatan desa semacam itu tak dapat dipisahkan dari pengaruh orang sekaliber bapak HYP.Eko Suparto atau lebih dikenal dengan bapak Punggono (alm) yang menjadi tokoh yang membanggakan bagi masyarakat sekitarnya, baik dari segi politik maupun keagamaan. Bapak Punggono-lah yang memprakarsai doa bersama di Balai Desa pada setiap kesempatan perayaan 17 Agustus.
Pastoral sekolah (SMPK Arjowilangun) sangat hidup. Bapak Misdianto yang didukung penuh oleh Romo Paroki menghidupkan koor sekolah, misa sekolah, lomba-lomba menjelang Natal, dan aneka keterlibatan murid-murid SMPK dalam Gereja Paroki, bahkan juga untuk ramai-ramai membersihkan gereja menjelang Natal. Romo Paroki rela menyisihkan waktu untuk menjadi guru agama Katolik dan bahasa Inggris di sekolah. Kekompakan para guru SMPK pun perlu mendapat apresiasi, karena berhasil menaburkan benih-benih ajaran Katolik di sekolah. Saat itu, SMPK menjadi sekolah favorit di wilayah kecamatan Kalipare.
Pertanyaannya: Apa yang hidup di balik semuanya itu? Dalam refleksi yang panjang, saya mencoba menemukan jawabannya. Dan, jawaban yang saya temukan adalah spirit yang disuntikkan oleh misionaris Belanda, khususnya Romo Lohuis. Spirit tersebut berupa totalitas pemberian diri Romo Lohuis untuk umat kesayangan yang dipercayakan kepadanya. Maka, sesudah wafat pun, tubuh-fana Romo Lohuis tetap ‘digandholi’ umat Paroki Lodalem untuk dimakamkan di samping gedung gereja Paroki Lodalem. Bagi umat Paroki Lodalem, Roh Romo Lohuis tetap menjadi gembala mereka. Inilah sisi ‘dalem’ kehidupan umat Paroki Lodalem. Setiap romo yang bertugas di Paroki Lodalem hendaknya menggunakan spirit tersebut untuk membangkitkan semangat hidup menggereja umat. Soal bentuk pastoralnya, setiap romo memiliki keunikan yang bervariasi.
Pada dasarnya, kehidupan religius umat Paroki Lodalem bagus. Namun, dengan mencermati kemajuan zaman yang menjangkau tempat-tempat tersembunyi di pedesaan, maka kegiatan pastoral Gereja perlu mempertimbangkan hal-hal berikut: Pertama, pengaruh kebutuhan ekonomi yang membuat banyak orang lari ke negeri tetangga sebagai TKI membawa dampak yang sangat besar. Pola pikir dan gaya hidup kebanyakan umat sudah berubah. Kehidupan menggereja tidak lagi dipandang sebagai suatu cara untuk mengisi sisi ‘dalem’ (baca: kehidupan batin) saja, tetapi juga dilihat dalam tataran untung rugi secara ekonomi. Jika menguntungkan, umat akan berduyun-duyun mengikuti kegiatan Gereja, tetapi jika tidak maka kegiatan Gereja dianggap hanya menghabiskan waktu dan tenaga. Kegiatan Gereja hanya dipandang sebagai ‘barang kuno’ yang mesti segera ditinggalkan.
Kedua, kondisi sebagai minoritas di tengah mayoritas penganut agama lain. Demikian gencar promosi agama, dengan didukung oleh dana dari luar negeri yang tak terhitung, dan dikendalikan oleh orang-orang militan yang terlatih, maka kehidupan iman umat berada dalam tantangan yang tidak ringan. Tak perlu menganggap satu kelompok pun sebagai musuh, tetapi hendaknya digunakan prinsip ini: Di dunia ini hanya ada satu musuh; dan musuh itu bernama diri sendiri. Maka, keberadaan umat sebagai minoritas di tengah-tengah mayoritas hendaknya dipandang sebagai kesempatan untuk survive (bertahan hidup) di dalam ganasnya gelombang pengaruh yang sangat besar. Kenyataan ini sekaligus menjadi sebuah ‘seleksi alami’ tingkat ketangguhan iman masing-masing umat di tengah aneka tantangan.
Ketiga, kemajuan alat komunikasi yang sudah menjangkau ke pelosok-pelosok desa. Alat-alat komunikasi, baik hand-phone, face book, twitter, maupun aneka fasilitas internet bukanlah malapetaka yang harus dihindari. Umat diajak untuk melihat sisi ‘dalem’ yang sangat positif, yakni sebagai sarana untuk membuka jaringan antar sesama umat beriman, fasilitas untuk mewartakan Injil, dan kesempatan merangkul sebanyak mungkin teman menjadi satu kawanan dan satu gembala. Alat-alat komunikasi tersebut sungguh menjadi berkat bagi Gereja, bukan sebaliknya.
Akhirnya, dengan kesungguhan hati, saya ucapkan PROFISIAT bagi seluruh umat Paroki Lodalem, yang merayakan HUT ke-40. Iman selalu merupakan harta yang sangat berharga. Iman menjadi pegangan dan pelita setiap sisi kehidupan kita. Mari kita pelihara, sirami, dan pupuk, agar tumbuh subur dan berbuah masak bagi kehidupan sehari-hari, dimana pun, kapan pun, dalam situasi-kondisi apa pun, dan pada zaman mana pun.
Malang, 28 Desember 2010,
pada Pesta Kanak-kanak Suci, Martir.
1 Response to "SISI ‘DALEM’ DARI PAROKI LODALEM"
Ya Ampun, ini Romo Adrianus Pristiono ya..?
yang dulunya pernah jadi Romo Paroki Pasar Merah Medan..?
wajahnya gak berubah sama sekali....
hehehhehhhhhe,,
nak passar merah medan...
btw aku tunggu ya balazan Romo..
alamat email aku : silvanie.sihotang@gmail.com
Leave A Reply