Imam dan Saudara
Posted on 11:09 PM by paroki_lodalem
Seorang perempuan menyegat Romo Pahala, mengulurkan tas plastik. “Pirang kilo, iki (Berapa kilogram, ini)?” tanya Romo Pahala.
Perempuan itu tersenyum, lantas menjawab, ”Boten ditimbang, Romo (Tidak ditimbang, Romo)”. Plastik itu berisi beras, kurang lebih tiga kilogram. Jika umat jujur, beras itu dikumpulkan dari setiap keluarga, satu sendok sehari. Waktu itu, usai Misa Minggu, 20/3, di kapel lingkungan Umbul Dawe, Stasi St Yoseph Kaliasri.
Bagi Romo Pahala, banyaknya beras tidak penting. Lebih penting, umat menyisihkan satu sendok beras sebelum memasak dengan keyakinan beras itu akan bermanfaat bagi orang lain. Beras itu untuk stok bahan makan, mengantisipasi musim paceklik.
Selain itu, imam Ordo Karmelit (OCarm) bernama lengkap Petrus Pahala Hasudungan Parmonangan Lumban Gaol itu juga mengajak umat mengumpulkan uang receh, dan mengisi amplop partisipasi untuk keperluan paroki. Meskipun tidak semua umat suka gerakan ini, tahun ini Paroki Lodalem tidak lagi disubsidi keuskupan.
Romo Pahala mulai ditugaskan di Lodalem sejak 8 Agustus 2007. Ia kelahiran Sumatra Utara, 24 Mei 1974. Tertarik masuk Karmelit, karena terpikat oleh suasana guyonan para Karmelit yang berkarya di parokinya, St Paulus Pasar Merah Medan. Ia menangkap guyonan itu sebagai wujud persaudaraan. Persaudaraan harus diwujudkan dalam kerasulan, termasuk option for the poor. Tetapi, Romo Pahala mengakui, ia tidak tahu bagaimana mewujudkannya, hingga ia menjalani masa diakonat di Paroki Ratu Damai Purworejo.
Ia diminta ikut dalam gerakan Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE), oleh Pastor A. Eko Aldilanto OCarm yang waktu itu menjadi Delegatus Sosial Keuskupan Malang. Romo Pahala mencermati, sebelumnya, bantuan PSE tidak pernah sampai ke yang membutuhkan. Malah, dimanfaatkan oleh orang tertentu.
Dengan persetujuan pastor paroki, ia mulai mengajak ibu-ibu membentuk kelompok usaha kripik singkong, tales, dan pisang, kemudian disusul dengan kelompok usaha “Enting Jahe”. Bahkan, dengan bantuan konsep teknologi dari Universitas Brawijaya Malang, terbentuk kelompok usaha minyak kelapa. Sehari bisa menghasilkan 50-100 liter. Sayangnya, usaha ini hanya bertahan enam bulan, karena lonjakan harga kelapa. Setelah tahbisan, 7 Mei 2003, Romo Pahala pun ditugaskan di Paroki Purworejo, dan diminta memimpin Credit Union sekaligus kelompok peternak sapi perah di Paroki Lodalem.
Dua tahun kemudian, Romo Pahala diminta melanjutkan studi spiritualitas ke Belanda. Namun, setelah sampai di sana, ia minta pulang. “Rasanya, saya sudah tidak bisa duduk dan baca lagi,” akunya.
Ia pun ditugaskan ke Keuskupan Palangkaraya. Di samping tugas pastoral parokial, ia bekerjasama dengan Dinas Perkebunan, mendampingi masyarakat menanam karet seluas 25 hektar. Setelah dua tahun di sana, ia ditugaskan di Lodalem.
Menjadi imam Karmelit yang diberi tugas pastoral parokial, bagi Romo Pahala, tidak sebatas hanya mengelola Gereja paroki sebagai umat Allah. Semangat persaudaraan Karmelit juga ia bawa dalam persaudaraan dengan sesama. Dan, persaudaraan akan terwujud, jika setiap orang berdiri pada posisi sejajar. ”Ini lho saya, saudaramu, yang kebetulan imam,” Romo Pahala mengungkapkan.
Sebagaimana Yesus membasuh kaki para murid-Nya, ia pun ingin membasuh kaki semua orang. ”Pada akhirnya, mereka harus bisa menghitung sendiri, memutuskan sendiri,” Romo Pahala yakin. Secara pribadi, ia tidak memperoleh bagian keuntungan. Tetapi, dengan landasan doa yang kuat, mereka akan bersyukur, dan mestinya juga berbagi kepada sesama.
Romo Pahala melakukan semua itu di tengah kesibukannya sebagai pastor Paroki Lodalem, juga Deken Malang Selatan, Pastor Paroki Purworejo. Ia juga dilibatkan dalam Tribunal Keuskupan Malang.
Romo Pahala pun menyadari, dirinya punya kelemahan. Ia jarang makan bersama dengan saudara sekomunitas di pastoran, yakni Diakon Kartolo Malau OCarm. ”Mudah-mudahan,” ungkap Romo Pahala, ”saya bisa mengatur waktu, hingga setidaknya kami bisa makan dan berdoa bersama.”
Penulis: Benidiktus W. Sumber : http://www.hidupkatolik.com/2011/05/23/imam-dan-saudara
Perempuan itu tersenyum, lantas menjawab, ”Boten ditimbang, Romo (Tidak ditimbang, Romo)”. Plastik itu berisi beras, kurang lebih tiga kilogram. Jika umat jujur, beras itu dikumpulkan dari setiap keluarga, satu sendok sehari. Waktu itu, usai Misa Minggu, 20/3, di kapel lingkungan Umbul Dawe, Stasi St Yoseph Kaliasri.
Bagi Romo Pahala, banyaknya beras tidak penting. Lebih penting, umat menyisihkan satu sendok beras sebelum memasak dengan keyakinan beras itu akan bermanfaat bagi orang lain. Beras itu untuk stok bahan makan, mengantisipasi musim paceklik.
Selain itu, imam Ordo Karmelit (OCarm) bernama lengkap Petrus Pahala Hasudungan Parmonangan Lumban Gaol itu juga mengajak umat mengumpulkan uang receh, dan mengisi amplop partisipasi untuk keperluan paroki. Meskipun tidak semua umat suka gerakan ini, tahun ini Paroki Lodalem tidak lagi disubsidi keuskupan.
Romo Pahala mulai ditugaskan di Lodalem sejak 8 Agustus 2007. Ia kelahiran Sumatra Utara, 24 Mei 1974. Tertarik masuk Karmelit, karena terpikat oleh suasana guyonan para Karmelit yang berkarya di parokinya, St Paulus Pasar Merah Medan. Ia menangkap guyonan itu sebagai wujud persaudaraan. Persaudaraan harus diwujudkan dalam kerasulan, termasuk option for the poor. Tetapi, Romo Pahala mengakui, ia tidak tahu bagaimana mewujudkannya, hingga ia menjalani masa diakonat di Paroki Ratu Damai Purworejo.
Ia diminta ikut dalam gerakan Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE), oleh Pastor A. Eko Aldilanto OCarm yang waktu itu menjadi Delegatus Sosial Keuskupan Malang. Romo Pahala mencermati, sebelumnya, bantuan PSE tidak pernah sampai ke yang membutuhkan. Malah, dimanfaatkan oleh orang tertentu.
Dengan persetujuan pastor paroki, ia mulai mengajak ibu-ibu membentuk kelompok usaha kripik singkong, tales, dan pisang, kemudian disusul dengan kelompok usaha “Enting Jahe”. Bahkan, dengan bantuan konsep teknologi dari Universitas Brawijaya Malang, terbentuk kelompok usaha minyak kelapa. Sehari bisa menghasilkan 50-100 liter. Sayangnya, usaha ini hanya bertahan enam bulan, karena lonjakan harga kelapa. Setelah tahbisan, 7 Mei 2003, Romo Pahala pun ditugaskan di Paroki Purworejo, dan diminta memimpin Credit Union sekaligus kelompok peternak sapi perah di Paroki Lodalem.
Dua tahun kemudian, Romo Pahala diminta melanjutkan studi spiritualitas ke Belanda. Namun, setelah sampai di sana, ia minta pulang. “Rasanya, saya sudah tidak bisa duduk dan baca lagi,” akunya.
Ia pun ditugaskan ke Keuskupan Palangkaraya. Di samping tugas pastoral parokial, ia bekerjasama dengan Dinas Perkebunan, mendampingi masyarakat menanam karet seluas 25 hektar. Setelah dua tahun di sana, ia ditugaskan di Lodalem.
Menjadi imam Karmelit yang diberi tugas pastoral parokial, bagi Romo Pahala, tidak sebatas hanya mengelola Gereja paroki sebagai umat Allah. Semangat persaudaraan Karmelit juga ia bawa dalam persaudaraan dengan sesama. Dan, persaudaraan akan terwujud, jika setiap orang berdiri pada posisi sejajar. ”Ini lho saya, saudaramu, yang kebetulan imam,” Romo Pahala mengungkapkan.
Sebagaimana Yesus membasuh kaki para murid-Nya, ia pun ingin membasuh kaki semua orang. ”Pada akhirnya, mereka harus bisa menghitung sendiri, memutuskan sendiri,” Romo Pahala yakin. Secara pribadi, ia tidak memperoleh bagian keuntungan. Tetapi, dengan landasan doa yang kuat, mereka akan bersyukur, dan mestinya juga berbagi kepada sesama.
Romo Pahala melakukan semua itu di tengah kesibukannya sebagai pastor Paroki Lodalem, juga Deken Malang Selatan, Pastor Paroki Purworejo. Ia juga dilibatkan dalam Tribunal Keuskupan Malang.
Romo Pahala pun menyadari, dirinya punya kelemahan. Ia jarang makan bersama dengan saudara sekomunitas di pastoran, yakni Diakon Kartolo Malau OCarm. ”Mudah-mudahan,” ungkap Romo Pahala, ”saya bisa mengatur waktu, hingga setidaknya kami bisa makan dan berdoa bersama.”
Penulis: Benidiktus W. Sumber : http://www.hidupkatolik.com/2011/05/23/imam-dan-saudara
No Response to "Imam dan Saudara"
Leave A Reply